Mengapa Kita Tak Bisa Jauh dari Cemilan? Mengungkap Asal Muasal Kebiasaan "Ngemil"

Siapa yang bisa menolak renyahnya keripik, manisnya cokelat, atau gurihnya biskuit di sela-sela aktivitas? Bagi sebagian besar dari kita, ngemil atau makan cemilan sudah menjadi ritual harian yang tak terpisahkan.

Namun, pernahkah Anda bertanya, mengapa kita begitu menyukai cemilan? Apakah ini hanya masalah rasa lapar, ataukah ada alasan yang lebih dalam yang melibatkan sejarah, budaya, dan bahkan kimia otak kita?

Artikel ini akan mengupas tuntas asal muasal mengapa kebiasaan makan cemilan begitu melekat dalam kehidupan setiap orang.

1. Peran Psikologis: Mencari "Hadiah" Instan dan Meredam Stres

Jauh sebelum cemilan menjadi produk industri, otak manusia sudah diprogram untuk menyukai makanan yang memberikan energi cepat. Cemilan modern—yang cenderung tinggi gula, lemak, atau garam—secara sempurna memicu "sistem hadiah" (reward system) di otak kita.

Hormon Kebahagiaan dan Pelampiasan Emosi

Ketika kita mengonsumsi makanan yang enak, otak melepaskan Dopamin, zat kimia yang menimbulkan rasa senang dan puas. Hal ini menciptakan asosiasi positif antara cemilan dan perasaan nyaman.

Inilah yang menjelaskan fenomena "Stress Eating" atau "Emotional Eating". Saat kita menghadapi tekanan mental, emosi negatif (seperti stres, cemas, atau bosan) memicu tubuh melepaskan hormon stres Kortisol. Kortisol meningkatkan nafsu makan, terutama terhadap makanan tinggi kalori yang dapat memberikan kenyamanan instan. Cemilan pun menjadi pelampiasan sederhana dan cepat bagi otak untuk "menghibur diri" di tengah tekanan.

 

2. Faktor Historis dan Sosial: Pergeseran Pola Makan

Secara historis, pola makan utama manusia adalah makanan pokok yang besar dalam dua hingga tiga kali sehari. Namun, revolusi sosial dan industri mengubah segalanya.

Lahirnya "Waktu Ngemil"

Revolusi Industri, misalnya, memunculkan jam kerja yang ketat. Para pekerja membutuhkan asupan energi di antara waktu makan utama untuk mempertahankan stamina. Kebutuhan akan makanan ringan, praktis, dan cepat santap pun muncul.

Makanan seperti biskuit, yang tahan lama dan mudah dibawa, menjadi populer sebagai makanan selingan. Kebiasaan makan tiga kali sehari—sarapan, makan siang, dan makan malam—kemudian diikuti dengan kebutuhan akan "snack time" atau waktu cemilan.

Cemilan Sebagai Perekat Sosial dan Budaya

Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, cemilan (atau dikenal sebagai "jajanan pasar") memiliki fungsi sosial yang kuat.

  • Modal Sosialisasi: Cemilan menjadi pencair suasana dan media untuk kebersamaan. Berbagi cemilan dengan teman atau keluarga sering kali dianggap sebagai cara untuk membangun koneksi dan kehangatan.
  • Tradisi dan Akulturasi: Jajanan tradisional Indonesia, seperti Onde-onde atau Kue Cubit, sering kali memiliki filosofi atau sejarah akulturasi budaya (misalnya dengan China, Belanda, atau Portugis), menjadikannya bagian tak terpisahkan dari tradisi keluarga dan kekayaan lokal. Cemilan bukan hanya makanan, melainkan warisan budaya yang dihidangkan.

 

3. Aspek Fisiologis: Mengisi Kesenjangan Energi

Tentu saja, di luar faktor psikologis dan sosial, ada alasan fisiologis yang sederhana: rasa lapar.

Cemilan berfungsi sebagai makanan selingan yang:

  1. Mengganjal Lapar Sementara: Sebelum jadwal makan utama berikutnya, cemilan dapat memberikan sedikit pasokan tenaga dan mencegah penurunan kadar gula darah yang drastis, yang bisa menyebabkan lemas atau sulit konsentrasi.
  2. Kebutuhan Gizi Tambahan: Bagi beberapa orang, cemilan sehat seperti buah atau kacang-kacangan juga bisa menjadi cara untuk melengkapi kebutuhan gizi harian yang mungkin belum terpenuhi dari makanan utama.

 

Kesimpulan: Cemilan Adalah Bagian dari Manusia Modern

Pada akhirnya, kebiasaan suka makan cemilan adalah perpaduan kompleks dari dorongan biologis untuk mencari kenyamanan instan, respons psikologis terhadap tekanan emosional, dan adaptasi sosial-historis terhadap pola hidup yang semakin sibuk.

Cemilan telah bertransisi dari sekadar "makanan pengganjal lapar" menjadi alat untuk mengelola emosi, menghargai diri sendiri (self-reward), dan memperkuat ikatan sosial.

Kuncinya adalah "mindful snacking" atau ngemil dengan bijak. Dengan memahami alasan di balik keinginan untuk ngemil, kita bisa membuat pilihan yang lebih sehat dan menikmati momen cemilan tanpa mengorbankan kesehatan. Cemilan adalah bagian dari manusia modern—tinggal bagaimana kita mengendalikannya.

Follow me!